Ibu Sumiyati Ditunggu Ibu Darsi

Andi Natanael
3 min readJun 20, 2024

--

Sekarang-sekarang ini di setiap pagi, aku berangkat ke tempat kerja menggunakan KRL. Dari rumah harus sudah berangkat jam 6 pagi agar tidak terlalu siang untuk sampai di stasiun awal. Sebenarnya bisa saja ke stasiun transitnya, tetapi makan waktu lama juga. Makanya aku memutuskan untuk berangkat dari stasiun yang paling dekat dengan rumah. Tenang, aku pasti misuh-misuh terus kalau di kereta.

Photo by Faisal Hanafi on Unsplash

Kali ini aku agak terlambat ke stasiun. Sebenarnya masih aman, tetapi kalau sudah lewat jam 6.09, bakalan sulit untuk dapat duduk di stasiun transit. Aku kedapatan kereta pada jam 6.22 di stasiun pertama sebelum transit. Wah, ini beneran harus berdiri dan desak-desakan. Tidak peduli laki-laki atau perempuan, semua sama dihadapan KRL. Ada yang sambil mendengarkan musik via earphone, duduk manis mengecek media sosial, bahkan ada bapak dan anak yang sepertinya ingin pergi jauh karena membawa tas besar dan koper kecil. Benar-benar padat.

Setelah berdiri lama, akhirnya sampai di stasiun transit, yakni Stasiun Duri. Ya, sebenarnya tidak padat, tetapi minimal belajar sabar kalau mau naik eskalator. Lagi-lagi tidak ada perbedaan antara tua dan muda, semua sama di mata stasiun. Walaupun tidak se-chaos Stasiun Manggarai, orang-orang Tangerang dan Jakbar yang “bertarung” di Stasiun Duri ini mentalnya kuat banget.

Mau yang lewat tangga atau eskalator, semuanya harus kuat. Yang lewat tangga, sudah wajib punya kaki dan mental yang kuat. Naik tangga harus lari, apalagi kalau ada tanda-tanda kereta mau datang. Yang naik eskalator juga wajib punya telinga dan mental yang kuat, terutama di jalur kanan. Sudah menjadi peraturan umum kalau jalur kanan wajib berjalan. Makanya, kalau aku lagi mau santai, aku ambil jalur kiri. Aku selalu cari eskalator untuk naik dan tangga untuk turun.

Photo by Seorang Fadli on Unsplash

Nah, pagi tadi ada hal yang menurutku unik. Bukan, bukan karena ada hal hebat atau mujizat mengubah air menjadi anggur. Namun ada pengumuman yang disampaikan oleh announcer di Stasiun Duri. Tidak hanya sekali, aku mendengarnya hingga 3 kali. Entah bagaimana ceritanya, tetapi bisa-bisanya ada orang yang mungkin kesasar. Dua “tokoh” itu adalah Ibu Sumiyati dan Ibu Darsi.

Ketika aku mendengar pengumumannya pertama kali, agak terheran-heran. “Untuk ibu Sumiyati dimohon ke tempat tunggu karena ditunggu ibu Darsi”, kira-kira seperti itu kata announcer-nya. Apa se-chaos itu ya sampai ada ketinggalan orang di Stasiun Duri? Bahkan pengumannya aku dengar lagi sebelum masuk kereta ke arah Cikarang. Lumayan untuk penghilang lelah.

Namun yang aku kagum adalah kebaikan ibu Darsi yang masih mencari keberadaan ibu Sumiyati. Masih ada orang yang peduli sama kita. Aku merasa terkadang tidak dipedulikan, padahal masih ada yang masih sayang samaku. Sama seperti ibu Sumiyati, dia tetap dicari oleh ibu Darsi. Duh, mau banget deh jadi ibu Sumiyati.

Eh, sejujurnya aku kesal juga sih. Kenapa ya keretanya tidak ditambah jumlahnya? Benar-benar seperti ikan pepes, susah banget dapat ruang bebas kalau hari kerja. Ah, entahlah. Mana peduli para anggota dewan itu?

--

--